Rosalia
Fergie
Stevanie
Aku masih ingin bertutur tentang impian kita, dunia tanpa sekat tajamIndonesia, Never Ending Heritage
Akhir pekan, kota Jogja diguyur hujan
deras. Untunglah pada siang hari itu, saya sudah lama berada di lantai
dua Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Memasuki ruang seminar, dingin
semakin kuat. Akan tetapi, saya tetap antusias. Sebelumnya saya telah
memutuskan untuk menghabiskan setengah dari waktu berhari minggu, dengan
bergabung bersama Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) juga
rekan-rekan peserta Workshop & Jelajah Pengenalan Pelestarian
Warisan Budaya.
Pada awalnya, saya pikir tidak banyak orang
tertarik mengikuti kegiatan ini. Ternyata, peserta tidak terbatas
pendidikan, pekerjaan, bahkan jarak antar kota. Selain itu pembicara
juga sudah berpengalaman di bidang budaya dan arkeologi, Dr. Daud Aris
Tanudirjo, MA. (Dosen Arkeologi/ Wakil Dekan Fak. Ilmu Budaya
UGM, Jhohannes Marbun (Koordinator Madya), dan Dra. Wahyu Astuti (kepala
seksi di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jogja). Sedangkan moderator
adalah Asyhadi Mufsi Sadzali dari magister arkeologi UGM. Dan, tak kalah
istimewa, diantara para peserta ada Muhammad Sartono alias Abang Ahmad,
dari komunitas Sahabat Budaya Indonesia.
Sebelum mengikuti event ini, saya sering
mendengar persepsi yang menurut saya, keliru. Ada sebagian orang
berpendapat bahwa menjaga benda-benda kuno sama saja dengan menyembah
“isi” benda itu. Tentu saja setiap orang memang berhak berpandangan atau
berpendapat, akan tetapi perlu diingat jika bangsa kita lahir dari
peradaban yang memiliki kekayaan makna budaya, dan bisa kita ambil
maknanya dengan mengetahui mengapa, untuk apa dan bagaimana mereka
membuat sebuah benda, bangunan, seni dan tradisi. Di kemudian hari, dari
proses penggalian, banyak orang menemukan karya dari para pendahulu
kita yang terpendam sangat lama di perut bumi misalnya Candi dan Arca.
Dan kita, dapat memaknai warisan ini dalam berbagai sudut pandang
positif. oleh karena itu, tidak selalu tepat jika upaya menjaga dan
melestarikan warisan budaya akhirnya dipahami sebagai bentuk
penyembahan.
Anggapan “Tidak Penting” mungkin juga dapat
menyebabkan pemerintah maupun masyarakat menjadi enggan melestarikan
warisan budaya. Akhirnya terjadi pencurian serta transaksi jual beli
benda kuno kepada kolektor-kolektor asing. Selain itu, banyak banginan
kategori cagar budaya yang mengalami penghancuran massal demi
kepentingan proyek-proyek raksasa. Kondisi ini cukup memprihatinkan
sebab seringkali meskipun masyarakat setempat sudah memiliki kesadaran
tinggi untuk menjaga peninggalan tersebut, pemerintah justru lepas
tangan.
Padahal, jika kita ingin membangun dasar
kekuatan pariwisata untuk menarik kedatangan wisatawan asing, setiap
jengkal keotentikan warisan budaya baik berwujud lanskap, situs, tempat
bersejarah, museum, maupun praktek budaya di masyarakat menjadi sangat
penting diberdayakan. Sebab, perlu disadari jika seringkali motivasi
para wisatawan asing melakukan perjalanan wisata semata-mata untuk
menikmati nuansa baru yang jauh dari pengaruh industri global. Pada
akhirnya mereka memilih tempat-tempat wisata yang menawarkan panorama
alam serta wisata budaya yang masih asli. Inilah yang dapat kita sebut
dengan kesadaran di dalam wawasan pariwisata Ecotourism.
Memang sangat disayangkan jika penghancuran
maupun pencurian tidak sempat dicegah atau tidak tertangani dengan baik.
Saya cukup tertarik dengan cerita Bapak Daud, tentang fakta bahwa cukup
banyak benda cagar budaya dari Indonesia yang masuk ke pasar gelap dan
ditawarkan dalam katalog beberapa lembaga lelang di luar negeri. Masih
segar juga dalam ingatan kita tentang Museum Sonobudoyo dan Museum
Nasional yang kehilangan berbagai artefak berharga karena sistem
pengamanan sangat rapuh.
Oleh karena itu, kesadaran masyarakat
sangatlah penting guna mencegah kepunahan warisan budaya bangsa. Bahkan
seluruh upaya pelestarian warisan budaya oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB), seperti yang disampaikan Ibu Wahyu Astuti, tidak akan
bisa berjalan baik jika kurang tersentuh oleh dukungan masyarakat. Untuk
itulahkomunitas berperan penting mencegah semua tindakan yang mengarah
pada tindak penghancuran massal seluruh warisan budaya dengan
menyuarakan aspirasi kepada pemerintah setempat.
Sayangnya, tidaklah selalu cukup mengandalkan
bantuan pemerintah untuk ikut aktif menjaga cagar budaya di suatu
daerah. berangkat dari keprihatinan atas kondisi yang terjadi pada situs
sejarah di daerah Trowulan, di Mojokerto Jawa Timur, lahirlah komunitas
Madya. Menurut Bapak Jhohannes Marbun, Madya berupaya menguatkan peran
komunitas lokal untuk aktif memperhatikan kekayaan cagar budaya di
daerahnya masing-masing. Beberapa kegiatan advokasi sudah sering
dilakukan, salah satunya workshop berlanjut sesi jelajah pengenalan
pelestarian warisan budaya, seperti yang saya ikuti ini.
Setiap peserta dibagi dalam kelompok yang
masing-masing akan mengunjungi empat tempat di Jogja yaitu Benteng
Vredeburg, Kotabaru, Kotagede dan Tamansari. Tentu ini bukan sekedar
jalan-jalan biasa, sebab kami harus mengkritisi sistem pengelolaan Cagar
Budaya di masing-masing tempat.
Saya dan beberapa rekan mengunjungi kawasan
Kotabaru. Menurut saya, keistimewaan Kotabaru yang membuatnya dapat
melengkapi Benteng Vredeburg, Tamansari dan Kotagede, adalah
keistimewaan pada arsitektur bangunan kuno berciri khas
Belanda-kolonial. Sebut saja, dari Rumah Sakit Panti Rapih, Rumah Sakit
Dokter Yap, beberapa cafe, rumah warga, serta rumah ibadah seperti
Gereja dan Masjid yang letaknya hampir berdekatan. Saya baru mengetahui
jika pada jaman penjajahan, Kotabaru termasuk kawasan elite di Jogja.
Banyak orang Belanda bekerja sebagai pengusaha dan pekerja pabrik,
bermukim di Kotabaru. Oleh karena itulah, mereka membuat bermacam gedung
layanan publik salah satunya rumah sakit mata Dr. Yap yang masih kokoh
dalam ciri khas lamanya.
Eksistensi bangunan cagar budaya seringkali
menghadapi tekanan dan dilema. Kalau tidak hancur sendirinya atau
mengalami penghancuran, maka cagar budaya sering beralih fungsi menjadi
pusat kegiatan komersil, ataupun masih tetap menjadi rumah dengan
perubahan sesuai keinginan pemilik. Memang alih fungsi bangunan tua
untuk kepentingan pribadi maupun komersil, tidak sepenuhnya salah dan
melanggar UU Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 terutama jika memang izin
sudah diloloskan oleh pemerintah setempat. Hanya saja demi pelestarian
nilai historisnya, pemilik perlu mempertimbangkan untuk tidak merombak
total keseluruhan bentuk bangunan tersebut.
Oleh karena itu, sesungguhnya Kotabaru tidak
kalah dengan Museum Benteng Vredeburg, Kotagede maupun Tamansari yang
memang sudah populer sebagai kawasan wisata budaya dan sejarah.
Bangunan-bangunan berciri khas kolonial bisa dimanfaatkan tidak sekedar
untuk pelayanan publik, tetapi juga pariwisata kota. Namun, program
untuk membuat kota Jogja menjadi pusat pariwisata, tentu haruslah
didukung dengan ketersediaan kawasan wisata yang umumnya diinginkan oleh
wisatawan, Eco-Tourism.
Usai sesi jelajah wisata, seluruh peserta
workshop berkumpul di Benteng Vredeburg untuk berdiskusi lalu
mempresentasikan hal-hal menarik apa yang diperoleh selama berada di
kawasan cagar budaya, kemudian memikirkan bagaimana sebaiknya
pelestarian dilakukan.
Kita bersama menyadari, betapa
kayanya potensi wisata Indonesia, apapun yang diinginkan oleh wisatawan
asing, tersedia hampir di semua penjuru negeri. Namun sayangnya,
pemerintah dan sebagian besar masyarakat, justru tidak memiliki kepekaan
tinggi untuk memelihara seluruh aset berharga bangsanya.
Sebagai peserta saya sangat mengapresiasi
upaya Madya untuk mendorong keperdulian masyarakat terhadap pemeliharaan
Cagar Budaya, sehingga kemudian terjadi pertemuan serta persahabatan
diantara para pecinta-pemerhati cagar budaya, dari berbagai daerah di
Indonesia.
Semoga untuk event selanjutnya di tahun
baru, yaitu temu Nasional Aktivis/Relawan Pelestari Warisan Budaya,
dapat berjalan lancar sehingga mampu mendorong animo masyarakat untuk
lebih tanggap menjaga warisan budaya milik bangsa ini.
Tags:
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.
Siapa yang menilai tulisan ini?
- 2
Kang Yusril
Aktualesang suspranggono
Menarik
KOMENTAR BERDASARKAN :
Tulis Tanggapan Anda
16 December 2013 13:22:29
Seandainya saja pemerintah mau membuat kebijakan…Yaitu, dengan menentukan tanggal tertentu dimana, pada tanggal tersebut pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat menggunakan pakaian daerah sesuai dengan daerahnya masing-masing…. ^_^Laporkan Komentar
0
Balas
16 December 2013 13:47:19
pemerintah kurang melihat potensi heritage kitaLaporkan Komentar
0
Balas
16 December 2013 13:55:42
Jogja never ending asia. . .Kunjungi yang ini yah, beri nilai dan komen juga, heee
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/04/kalimantan-sulawesi-with-avanza-616352.html
Laporkan Komentar
0
Balas
17 December 2013 21:50:42
ihir……..muantep tenan le ra ngajak seminar mbak…hhikkks. tetep menarik pokoke tulisane mbak.Laporkan Komentar
0
Balas