Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 - Yogyakarta, 8-11 Oktober 2013
Tentang KKI 2013
1. Latar Belakang
Keragaman kebudayaan bangsa merupakan kekayaan dan sumber utama dalam pembangunan jatidiri, kebanggaan nasional, dan pemerkukuh kesatuan dan persatuan bangsa. Kekayaan itu merupakan kontribusi dalam membangun keindonesiaan yang multikultural. Tampaknya, kehidupan bersama dalam keberagaman yang telah berlangsung sejak tumbuhnya kesadaran berbangsa tersebut pascareformasi telah diwarnai oleh berbagai konflik horizontal dan vertikal. Oleh karena itu, sudah saatnya semua potensi budaya tersebut harus dipelihara dan terus ditanamkan kepada generasi muda.
Sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi dewasa ini, hubungan antarbudaya pun semakin terbuka dan saling memengaruhi. Sementara itu, selain hubungan budaya antaretnis memperlihatkan keterbukaan, terjadi pula kristalisasi kepentingan etnis atau daerah yang dapat mengancam upaya membangun keindonesiaan.
Berbagai permasalahan tersebut di atas, harus ditangani secara sungguh-sungguh, berencana, dan berkelanjutan. Penanganan itu tidak dapat dilakukan secara parsial dan sendiri-sendiri, tetapi perlu dibahas secara menyeluruh, mendalam, dan tuntas dalam forum Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI).
2. Tujuan
Atas dasar berbagai permasalahan tersebut di atas, KKI 2013 diselenggarakan dengan tujuan:
menanamkan pemahaman multikulturalisme dalam konteks pluralisme,
membangun demokrasi yang berbudaya,
meningkatkan pengelolaan kebudayaan,
meningkatkan diplomasi kebudayaan Indonesia di dunia Internasional, dan
meningkatkan kemitraan di antara pemangku kepentingan kebudayaan, baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat untuk memperkuat keindonesiaan.
3. Tema dan Subtema
Dalam upaya pembahasan permasalahan dan pencapaian tujuan tersebut, KKI 2013 menetapkan tema “Kebudayaan untuk Keindonesiaan.” Pemaparan tema itu akan disampaikan oleh pembicara kunci Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Adapun Kebijakan Kebudayaan dipaparkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, tema itu dijabarkan ke dalam lima subtema yang masing-masing akan dibahas oleh pembicara utama dari kalangan pakar dan pejabat, sesuai dengan tema yang dikemukakan di bawah ini.
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi, Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kebudayaan.
Warisan dan Pewarisan Budaya, Cultural Diversity: Problems and Challenges in 21st Century.
Diplomasi Kebudayaan.
Pengelolaan Kebudayaan, Pengelolaan Kebudayaan pada Era Otonomi Daerah.
Sumber Daya Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya.
3.1. Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi
Politik sebagai seni untuk meraih kebahagiaan dan kebaikan hidup bersama mengalami pengerdilan sekadar menjaga kuasa demi kuasa itu. Politik sebatas mempertanyakan siapa yang menang dan apa untungnya, tidak mempertanyakan apa yang benar. Modal politik direduksi ke dalam modal uang dan popularitas, yang berlomba mengkhianati Negara dan sesamanya. Hukum dan institusi runtuh tak mampu mencegah korupsi; hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Kondisi itu menimbulkan kematian harapan dan optimis di tengah masyarakat.
Demokratisasi hanya menemukan bahan prosedural, tanpa diikuti oleh perubahan sikap dan mental. Perangkat keras institusi mengalami demokratisasi, tetapi perangkat lunak budayanya mempertahankan feodalisme.
Subtema Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi selanjutnya dibahas dalam empat topik berikut:
Demokrasi Berwawasan Budaya;
Demokrasi Keindonesiaan;
Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi; dan
Demokrasi dan Nomokrasi.
3.2. Warisan dan Pewarisan Budaya
Keberagaman budaya, yang disebabkan oleh berbagai kelompok etnis, yang harus hidup bersama di satu tempat, sering menimbulkan konflik. Banyak cara dilakukan untuk meredam konflik-konflik itu, seperti cara politis, tetapi sering tidak berhasil. Saat ini komunitas-komunitas di dunia mulai sadar bahwa pendekatan budaya, khususnya budaya tradisi lebih berpeluang untuk meredam konflik dan mendorong terciptanya persatuan. Daripada menegaskan perbedaan-perbedaan, sebaiknya persatuan dibina dengan mengakui bahwa justru perbedaan adalah kekayaan yang harus dijaga. Untuk itu, semboyan Bhineka Tunggal Ika perlu digalakkan kembali penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah suku-suku bangsa di Indonesia dalam perjalanan membentuk satu bangsa menunjukkan konflik-konflik. Sementara itu, perdagangan, hubungan antardinasti dan penyebaran agama dapat dianggap sebagai tiga ikatan penting yang menentukan dinamika beragam entitas politik. Dinamika ketiga kekuatan dalam sejarah itulah yang menyebabkan hubungan yang rumit antara berbagai pusat kekuasaan, masing-masing dengan tradisi, dan bahasa. Situasi itu tidak dapat dihindari dan sejarah masa lalu tidak dapat lagi memberi jalan ke arah yang lebih jelas, dan sejarah kontemporer seakan memiliki kesenjangan dalam mencari informasi pasti tentang hubungan-hubungan rumit itu. Dalam hal itulah tradisi memegang peranan penting. Apapun dasar budaya atau bahkan dasar agama dari suatu masyarakat, tujuan utama berbagai ragam upacara dan perilaku seremonial sebenarnya adalah untuk memperkuat ikatan sosial.
Perbedaan budaya memang dapat menimbulkan masalah, tetapi perbedaan harus dihormati dan dihargai sebagai kebhinekaan. Setiap daerah memiliki keragaman budaya maka setiap daerah memerlukan pengelolaan keberagaman itu demi menciptakan keharmonisan kehidupan bersama. Pengelolaan itu juga mencakup pemberian kesempatan kepada tiap kelompok etnis untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam berbagai bidang kehidupan.
Pembahasan berbagai masalah tersebut dalam subtema Warisan dan Pewarisan Budaya ditumpukan ke dalam empat topik berikut:
Warisan Budaya Bersama Asia Tenggara;
Unity in Diversity: Kebijakan Kebudayaan;
Globalisasi Kebudayaan; dan
Penyerbukan Silang Kebudayaan.
3.3 Diplomasi Kebudayaan
Indonesia telah dikenal sebagai negara yang memiliki beragam karya dan warisan budaya bangsa yang telah berkembang dan diwariskan secara lintas generasi. Keragaman dan kekayaan budaya, baik wujud benda (tangible) maupun takwujud benda (intangible) telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang sangat penting dalam diskusi dan penelitian kebudayaan di tingkat dunia. Aset kekayaan budaya bangsa Indonesia tersebut merupakan aset pembangunan bangsa untuk masa kini dan masa depan.
Kegiatan diplomasi budaya merupakan salah satu upaya yang efektif untuk memperkenalkan kekayaan warisan budaya Indonesia ke dunia, mendorong upaya pelestarian warisan budaya, sekaligus meningkatkan citra dan apresiasi masyarakat internasional terhadap aset budaya bangsa Indonesia. Dalam kerangka pengakuan dan apresiasi masyarakat internasional terhadap kekayaan warisan budaya Indonesia, perlu dirumuskan strategi diplomasi budaya yang tepat untuk dapat dilaksanakan dalam program dan kegiatan secara konsisten dan berkelanjutan. Sementara itu, sarana hubungan budaya antarsuku bangsa yang telah terbukti menyatukan berbagai suku bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa ke dalam kesatuan bangsa Indonesia harus dikembangkan sebagai wahana untuk saling memahami keragaman yang merupakan karakter dan kekuatan bangsa.
Subtema Diplomasi Budaya tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam empat topik berikut.
Diplomasi Internal dan Eksternal;
Budaya sebagai Kekuatan Diplomasi;
Kerja Sama Internasional; dan
Mengglobalkan Budaya Indonesia.
3.4 Pengelolaan Kebudayaan
Kebudayaan senantiasa berkembang sejalan dengan perubahan yang terjadi pada bentang luas ruang kehidupan manusia, baik yang alamiah maupun yang politis-sosiologis. Kebudayaan dengan demikian berkait-kelindan dengan proses sejarah, yang kecenderungannya bergantung pada tanggapan individu dan sosial terhadap keserbamungkinan yang didedahkan oleh perubahan yang ada.
Berbagai kekuatan kebudayaan yang menjulangkan kewibawaan Indonesia di pentas dunia sekarang ini dirasakan terancam. Kekuatan kebhinekaan, misalnya, terancam oleh penetrasi ketunggalan yang digerakkan, baik oleh kebijakan dan praktik politik kenegaraan maupun oleh euphoria anak bangsa merayakan kelimpah-ruahan pengetahuan dan informasi yang disediakan melalui media baru, baik siber maupun televisi.
Pada dasarnya, dari berbagai dialog yang menghimpun pemikiran para akademisi, cendekiawan, dan budayawan dari hampir semua wilayah budaya di Indonesia itu, lantang terdengar suara bahwa kebudayaan dan perkembangannya yang bercirikan keindonesiaan itu tempat dan kepentingannya telah tergeser jauh ke pinggir kehidupan, kebijakan, dan praktik politik masa kini Indonesia itu sendiri. Kebudayaan warisan dan transformasinya, bersama gejala-gejala “kebudayaan baru” dan penetrasinya (terutama di kalangan generasi muda/generasi XYZ), merupakan persoalan yang masih tetap terbiarkan dengan pengelolaan yang apa adanya. Oleh karena itu, dalam KKI 2013 ini, aspek pengelolaan merupakan subtema yang penting dibahas; mulai dari konsep dan perencanaan strategis, kebijakan, kelembagaan, sumber daya, sampai ke agenda-agenda tindakannya.
Pengelolaan Kebudayaan tersebut selanjutnya diurai ke dalam empat topik berikut.
Konflik dalam Perspektif Budaya;
Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat;
Pemerintah Pusat dan Daerah; dan
Kelembagaan Kebudayaan.
3.5 Sumberdaya Kebudayaan
Kemajuan teknologi multimedia, khususnya berkat kehadiran jaringan internet, telah ikut mengubah “peta budaya” di Tanah Air. Meski baru sebatas fenomena, secara nyata perilaku sosial-budaya sehari-hari yang mereka munculkan ke permukaan sudah membentuk semacam “kebudayaan baru” di negeri ini. Mereka adalah generasi baru produk anak zaman era global yang hidup di dunia digital.
Dibandingkan dengan generasi pendahulunya, generasi baru itu lebih mengenal dan dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai sumber media dan dari segala penjuru. Penggunaan beragam media komunikasi sosial semacam internet, facebook, twitter, blog, dan jaringan pesan BlackBerry, Android, Line, ataupun Whats App sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Terlepas dari soal kedalaman tingkat informasi yang mereka peroleh, juga kecenderungan mereka yang dilandasi semangat ingin serba cepat dalam berbagai hal, tidak sedikit di antara generasi ini yang ulet dan sangat menyukai tantangan. Selain itu, mereka juga amat menghargai kepemimpinan yang kolaboratif. Etos kreatif dan semangat kompetitif juga bermunculan. Karya animasi dan komik digital misalnya (hanya untuk menyebut contoh kecil) yang mereka buat sudah mendunia, bersanding dan bersaing dengan karya-karya kreatif sejenis dari berbagai penjuru dunia. Berkat kemajuan dan penguasaan teknologi digital, dalam sejumlah hal aktivitas keseharian mereka tak lagi mengenal sempadan bangsa dan negara, termasuk dalam memaknai apa yang disebut sebagai nasionalisme. Meski demikian, tentu saja, tak bisa ditampik adanya suara-suara negatif terhadap generasi ini karena lewat media sosial berlakulah semacam kredo, “Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”.
Bagaimana dunia pendidikan menyikapi fenomena ini? Sejauh mana perilaku sosial mereka ikut memengaruhi masa depan peradaban di negeri ini? Mungkinkah mengarahkan perubahan perilaku dan “budaya baru” ini menjadi modal untuk membangun generasi baru yang memiliki elan vital dengan kemampuan kreativitas tinggi untuk masa depan bangsa ini? Bagaimana menghadirkan suatu model atau (sekadar) pendekatan dalam proses pembelajaran yang memungkinkan lahir generasi anak bangsa yang mampu mengglobalkan kembali budaya bangsa ini ke pentas dunia dalam arti yang sesungguhnya? Suatu budaya global yang bercirikan keindonesiaan sehingga tampilan dari apa yang dinamakan globalisasi itu—bahkan di bidang politik dan ekonomi—menjadi ramah, santun, dan humanis sesuai dengan budaya Indonesia?
Subtema Sumberdaya Kebudayaan dijabarkan ke dalam empat topik berikut.
Generasi Multimedia;
Pendidikan Kebudayaan;
Etos Kreatif dan Semangat Kompetisi; dan
Kontekstualisasi Pemberdayaan Budaya.
4. Pemakalah dan Peserta KKI 2013
Sebanyak 100 makalah akan diterima pada KKI 2013 yang terdiri atas 80 makalah dipresentasikan dan 20 makalah lainnya tidak dipresentasikan.
Adapun peserta KKI terdiri atas pakar, budayawan, seniman, cendekiawan, tokoh masyarakat, wartawan, dan unsur pemerintah.
5. Tempat dan Waktu Pelaksanaan KKI
Yogyakarta menjadi pilihan untuk pelaksanaan KKI 2013 yang akan berlangsung selama empat (4) hari, yakni dari tanggal 8—11 Oktober 2013.
6. Pembicara Kunci dan Pembicara Utama
Pembicara kunci KKI 2013, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pembicara utama KKI 2013 berjumlah 10 (sepuluh) orang, yakni:
Individu:
Warisan dan Pewarisan Budaya.
Diplomasi Budaya.
Demokrasi Berkebudayaan dan Kebudayaan Berdemokrasi.
Pengelolaan Budaya.
Sumberdaya Kebudayaan.
Instansi:
Menlu: Diplomasi Budaya.
Mendagri: Pengelolaan Kebudayaan di Era Otonomi Daerah.
Kepala Bappenas: Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kebudayaan.
Menparekraf: 1) Pariwisata Berbasis Budaya; 2) Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya.
UNESCO Paris: Cultural Diversity: Problems and Challenges in 21st Century.
1. Latar Belakang
Keragaman kebudayaan bangsa merupakan kekayaan dan sumber utama dalam pembangunan jatidiri, kebanggaan nasional, dan pemerkukuh kesatuan dan persatuan bangsa. Kekayaan itu merupakan kontribusi dalam membangun keindonesiaan yang multikultural. Tampaknya, kehidupan bersama dalam keberagaman yang telah berlangsung sejak tumbuhnya kesadaran berbangsa tersebut pascareformasi telah diwarnai oleh berbagai konflik horizontal dan vertikal. Oleh karena itu, sudah saatnya semua potensi budaya tersebut harus dipelihara dan terus ditanamkan kepada generasi muda.
Sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi dewasa ini, hubungan antarbudaya pun semakin terbuka dan saling memengaruhi. Sementara itu, selain hubungan budaya antaretnis memperlihatkan keterbukaan, terjadi pula kristalisasi kepentingan etnis atau daerah yang dapat mengancam upaya membangun keindonesiaan.
Berbagai permasalahan tersebut di atas, harus ditangani secara sungguh-sungguh, berencana, dan berkelanjutan. Penanganan itu tidak dapat dilakukan secara parsial dan sendiri-sendiri, tetapi perlu dibahas secara menyeluruh, mendalam, dan tuntas dalam forum Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI).
2. Tujuan
Atas dasar berbagai permasalahan tersebut di atas, KKI 2013 diselenggarakan dengan tujuan:
menanamkan pemahaman multikulturalisme dalam konteks pluralisme,
membangun demokrasi yang berbudaya,
meningkatkan pengelolaan kebudayaan,
meningkatkan diplomasi kebudayaan Indonesia di dunia Internasional, dan
meningkatkan kemitraan di antara pemangku kepentingan kebudayaan, baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat untuk memperkuat keindonesiaan.
3. Tema dan Subtema
Dalam upaya pembahasan permasalahan dan pencapaian tujuan tersebut, KKI 2013 menetapkan tema “Kebudayaan untuk Keindonesiaan.” Pemaparan tema itu akan disampaikan oleh pembicara kunci Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Adapun Kebijakan Kebudayaan dipaparkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, tema itu dijabarkan ke dalam lima subtema yang masing-masing akan dibahas oleh pembicara utama dari kalangan pakar dan pejabat, sesuai dengan tema yang dikemukakan di bawah ini.
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi, Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kebudayaan.
Warisan dan Pewarisan Budaya, Cultural Diversity: Problems and Challenges in 21st Century.
Diplomasi Kebudayaan.
Pengelolaan Kebudayaan, Pengelolaan Kebudayaan pada Era Otonomi Daerah.
Sumber Daya Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya.
3.1. Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi
Politik sebagai seni untuk meraih kebahagiaan dan kebaikan hidup bersama mengalami pengerdilan sekadar menjaga kuasa demi kuasa itu. Politik sebatas mempertanyakan siapa yang menang dan apa untungnya, tidak mempertanyakan apa yang benar. Modal politik direduksi ke dalam modal uang dan popularitas, yang berlomba mengkhianati Negara dan sesamanya. Hukum dan institusi runtuh tak mampu mencegah korupsi; hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Kondisi itu menimbulkan kematian harapan dan optimis di tengah masyarakat.
Demokratisasi hanya menemukan bahan prosedural, tanpa diikuti oleh perubahan sikap dan mental. Perangkat keras institusi mengalami demokratisasi, tetapi perangkat lunak budayanya mempertahankan feodalisme.
Subtema Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi selanjutnya dibahas dalam empat topik berikut:
Demokrasi Berwawasan Budaya;
Demokrasi Keindonesiaan;
Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi; dan
Demokrasi dan Nomokrasi.
3.2. Warisan dan Pewarisan Budaya
Keberagaman budaya, yang disebabkan oleh berbagai kelompok etnis, yang harus hidup bersama di satu tempat, sering menimbulkan konflik. Banyak cara dilakukan untuk meredam konflik-konflik itu, seperti cara politis, tetapi sering tidak berhasil. Saat ini komunitas-komunitas di dunia mulai sadar bahwa pendekatan budaya, khususnya budaya tradisi lebih berpeluang untuk meredam konflik dan mendorong terciptanya persatuan. Daripada menegaskan perbedaan-perbedaan, sebaiknya persatuan dibina dengan mengakui bahwa justru perbedaan adalah kekayaan yang harus dijaga. Untuk itu, semboyan Bhineka Tunggal Ika perlu digalakkan kembali penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah suku-suku bangsa di Indonesia dalam perjalanan membentuk satu bangsa menunjukkan konflik-konflik. Sementara itu, perdagangan, hubungan antardinasti dan penyebaran agama dapat dianggap sebagai tiga ikatan penting yang menentukan dinamika beragam entitas politik. Dinamika ketiga kekuatan dalam sejarah itulah yang menyebabkan hubungan yang rumit antara berbagai pusat kekuasaan, masing-masing dengan tradisi, dan bahasa. Situasi itu tidak dapat dihindari dan sejarah masa lalu tidak dapat lagi memberi jalan ke arah yang lebih jelas, dan sejarah kontemporer seakan memiliki kesenjangan dalam mencari informasi pasti tentang hubungan-hubungan rumit itu. Dalam hal itulah tradisi memegang peranan penting. Apapun dasar budaya atau bahkan dasar agama dari suatu masyarakat, tujuan utama berbagai ragam upacara dan perilaku seremonial sebenarnya adalah untuk memperkuat ikatan sosial.
Perbedaan budaya memang dapat menimbulkan masalah, tetapi perbedaan harus dihormati dan dihargai sebagai kebhinekaan. Setiap daerah memiliki keragaman budaya maka setiap daerah memerlukan pengelolaan keberagaman itu demi menciptakan keharmonisan kehidupan bersama. Pengelolaan itu juga mencakup pemberian kesempatan kepada tiap kelompok etnis untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam berbagai bidang kehidupan.
Pembahasan berbagai masalah tersebut dalam subtema Warisan dan Pewarisan Budaya ditumpukan ke dalam empat topik berikut:
Warisan Budaya Bersama Asia Tenggara;
Unity in Diversity: Kebijakan Kebudayaan;
Globalisasi Kebudayaan; dan
Penyerbukan Silang Kebudayaan.
3.3 Diplomasi Kebudayaan
Indonesia telah dikenal sebagai negara yang memiliki beragam karya dan warisan budaya bangsa yang telah berkembang dan diwariskan secara lintas generasi. Keragaman dan kekayaan budaya, baik wujud benda (tangible) maupun takwujud benda (intangible) telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang sangat penting dalam diskusi dan penelitian kebudayaan di tingkat dunia. Aset kekayaan budaya bangsa Indonesia tersebut merupakan aset pembangunan bangsa untuk masa kini dan masa depan.
Kegiatan diplomasi budaya merupakan salah satu upaya yang efektif untuk memperkenalkan kekayaan warisan budaya Indonesia ke dunia, mendorong upaya pelestarian warisan budaya, sekaligus meningkatkan citra dan apresiasi masyarakat internasional terhadap aset budaya bangsa Indonesia. Dalam kerangka pengakuan dan apresiasi masyarakat internasional terhadap kekayaan warisan budaya Indonesia, perlu dirumuskan strategi diplomasi budaya yang tepat untuk dapat dilaksanakan dalam program dan kegiatan secara konsisten dan berkelanjutan. Sementara itu, sarana hubungan budaya antarsuku bangsa yang telah terbukti menyatukan berbagai suku bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa ke dalam kesatuan bangsa Indonesia harus dikembangkan sebagai wahana untuk saling memahami keragaman yang merupakan karakter dan kekuatan bangsa.
Subtema Diplomasi Budaya tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam empat topik berikut.
Diplomasi Internal dan Eksternal;
Budaya sebagai Kekuatan Diplomasi;
Kerja Sama Internasional; dan
Mengglobalkan Budaya Indonesia.
3.4 Pengelolaan Kebudayaan
Kebudayaan senantiasa berkembang sejalan dengan perubahan yang terjadi pada bentang luas ruang kehidupan manusia, baik yang alamiah maupun yang politis-sosiologis. Kebudayaan dengan demikian berkait-kelindan dengan proses sejarah, yang kecenderungannya bergantung pada tanggapan individu dan sosial terhadap keserbamungkinan yang didedahkan oleh perubahan yang ada.
Berbagai kekuatan kebudayaan yang menjulangkan kewibawaan Indonesia di pentas dunia sekarang ini dirasakan terancam. Kekuatan kebhinekaan, misalnya, terancam oleh penetrasi ketunggalan yang digerakkan, baik oleh kebijakan dan praktik politik kenegaraan maupun oleh euphoria anak bangsa merayakan kelimpah-ruahan pengetahuan dan informasi yang disediakan melalui media baru, baik siber maupun televisi.
Pada dasarnya, dari berbagai dialog yang menghimpun pemikiran para akademisi, cendekiawan, dan budayawan dari hampir semua wilayah budaya di Indonesia itu, lantang terdengar suara bahwa kebudayaan dan perkembangannya yang bercirikan keindonesiaan itu tempat dan kepentingannya telah tergeser jauh ke pinggir kehidupan, kebijakan, dan praktik politik masa kini Indonesia itu sendiri. Kebudayaan warisan dan transformasinya, bersama gejala-gejala “kebudayaan baru” dan penetrasinya (terutama di kalangan generasi muda/generasi XYZ), merupakan persoalan yang masih tetap terbiarkan dengan pengelolaan yang apa adanya. Oleh karena itu, dalam KKI 2013 ini, aspek pengelolaan merupakan subtema yang penting dibahas; mulai dari konsep dan perencanaan strategis, kebijakan, kelembagaan, sumber daya, sampai ke agenda-agenda tindakannya.
Pengelolaan Kebudayaan tersebut selanjutnya diurai ke dalam empat topik berikut.
Konflik dalam Perspektif Budaya;
Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat;
Pemerintah Pusat dan Daerah; dan
Kelembagaan Kebudayaan.
3.5 Sumberdaya Kebudayaan
Kemajuan teknologi multimedia, khususnya berkat kehadiran jaringan internet, telah ikut mengubah “peta budaya” di Tanah Air. Meski baru sebatas fenomena, secara nyata perilaku sosial-budaya sehari-hari yang mereka munculkan ke permukaan sudah membentuk semacam “kebudayaan baru” di negeri ini. Mereka adalah generasi baru produk anak zaman era global yang hidup di dunia digital.
Dibandingkan dengan generasi pendahulunya, generasi baru itu lebih mengenal dan dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai sumber media dan dari segala penjuru. Penggunaan beragam media komunikasi sosial semacam internet, facebook, twitter, blog, dan jaringan pesan BlackBerry, Android, Line, ataupun Whats App sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Terlepas dari soal kedalaman tingkat informasi yang mereka peroleh, juga kecenderungan mereka yang dilandasi semangat ingin serba cepat dalam berbagai hal, tidak sedikit di antara generasi ini yang ulet dan sangat menyukai tantangan. Selain itu, mereka juga amat menghargai kepemimpinan yang kolaboratif. Etos kreatif dan semangat kompetitif juga bermunculan. Karya animasi dan komik digital misalnya (hanya untuk menyebut contoh kecil) yang mereka buat sudah mendunia, bersanding dan bersaing dengan karya-karya kreatif sejenis dari berbagai penjuru dunia. Berkat kemajuan dan penguasaan teknologi digital, dalam sejumlah hal aktivitas keseharian mereka tak lagi mengenal sempadan bangsa dan negara, termasuk dalam memaknai apa yang disebut sebagai nasionalisme. Meski demikian, tentu saja, tak bisa ditampik adanya suara-suara negatif terhadap generasi ini karena lewat media sosial berlakulah semacam kredo, “Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”.
Bagaimana dunia pendidikan menyikapi fenomena ini? Sejauh mana perilaku sosial mereka ikut memengaruhi masa depan peradaban di negeri ini? Mungkinkah mengarahkan perubahan perilaku dan “budaya baru” ini menjadi modal untuk membangun generasi baru yang memiliki elan vital dengan kemampuan kreativitas tinggi untuk masa depan bangsa ini? Bagaimana menghadirkan suatu model atau (sekadar) pendekatan dalam proses pembelajaran yang memungkinkan lahir generasi anak bangsa yang mampu mengglobalkan kembali budaya bangsa ini ke pentas dunia dalam arti yang sesungguhnya? Suatu budaya global yang bercirikan keindonesiaan sehingga tampilan dari apa yang dinamakan globalisasi itu—bahkan di bidang politik dan ekonomi—menjadi ramah, santun, dan humanis sesuai dengan budaya Indonesia?
Subtema Sumberdaya Kebudayaan dijabarkan ke dalam empat topik berikut.
Generasi Multimedia;
Pendidikan Kebudayaan;
Etos Kreatif dan Semangat Kompetisi; dan
Kontekstualisasi Pemberdayaan Budaya.
4. Pemakalah dan Peserta KKI 2013
Sebanyak 100 makalah akan diterima pada KKI 2013 yang terdiri atas 80 makalah dipresentasikan dan 20 makalah lainnya tidak dipresentasikan.
Adapun peserta KKI terdiri atas pakar, budayawan, seniman, cendekiawan, tokoh masyarakat, wartawan, dan unsur pemerintah.
5. Tempat dan Waktu Pelaksanaan KKI
Yogyakarta menjadi pilihan untuk pelaksanaan KKI 2013 yang akan berlangsung selama empat (4) hari, yakni dari tanggal 8—11 Oktober 2013.
6. Pembicara Kunci dan Pembicara Utama
Pembicara kunci KKI 2013, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pembicara utama KKI 2013 berjumlah 10 (sepuluh) orang, yakni:
Individu:
Warisan dan Pewarisan Budaya.
Diplomasi Budaya.
Demokrasi Berkebudayaan dan Kebudayaan Berdemokrasi.
Pengelolaan Budaya.
Sumberdaya Kebudayaan.
Instansi:
Menlu: Diplomasi Budaya.
Mendagri: Pengelolaan Kebudayaan di Era Otonomi Daerah.
Kepala Bappenas: Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kebudayaan.
Menparekraf: 1) Pariwisata Berbasis Budaya; 2) Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya.
UNESCO Paris: Cultural Diversity: Problems and Challenges in 21st Century.
0 komentar:
Posting Komentar