Minggu, 17 Februari 2013

Jelajah Istana Cipanas dan Taman Bunga Nusantara


                     Jelajah Istana Cipanas dan Taman Bunga Nusantara


Hari : bebas untuk grup/rombongan sendiri

Meeting Point : Jam 6.30 ditempat yg ditentukan

                           Berangkat pg menghindari Buka Tutup di Ciawi

Tata tertib      : Busana semi formal, tidak boleh memakai sandal. jeans

                          celana pendek, kaos

Biaya : 300rb/ orang sudah termasuk : 

             - Bus AC, 

             - Snack 

             - air minum 

             - izin Istana, Tip Guide, Tol dan Parkir

             -  Tiket Taman Bunga Nusantara

DP : 50%  transfer ke BCA 1281730369 a/n Drs. Muhammad Sartono 

Kapasitas : 60 seat - minimal 25 seat Hubungi : 087889980922

 


                                         Sejarah Istana Cipanas

Terletak di kaki Gunung Gede, bangunan yang kini menjadi Istana Cipanas sejak awal benar-benar tempat tetirah bagi para Gubernur Jenderal, bukan gedung pemerintahan atau rumah dinas seperti Istana Bogor atau Istana Merdeka. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta udara pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai tempat persinggahan yang digemari para pejabat tinggi. Penciptanya adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron Van Imhoff, yang juga menggagas Puri Buitenzorg.

Di benak Van Imhoff-Iah muncul gagasan kolonisasi Jawa di benak Van Imhoff – dan ia segera melaksanakannya dengan kolonisasi kawasan sekitar Batavia, dan kemudian meluas ke daerah Priangan. Pada 20 Agustus 1742, ia memulai ekspedisinya yang diikuti oleh dua orang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah, dan seorang pendeta. Ekspedisi ini dikawal sepasukan grenadiers VOC yang dipimpin oleh seorang letnan kolonel.
Ekspedisi ini mencapai Kampung Baru pada 23 Agustus 1742. Van Imhoff jatuh cinta Pada suasana asri alam pegunungan di kawasan itu, dan menandai kawasan itu dengan nama Buitenzorg (pada saat itu masih dieja sebagai Buyten Sorg, yang berarti: tanpa peduli, atau without worry dalam bahasa Inggris, sans sauci dalam bahasa Prancis). Bahkan pada saat itu ia sudah bercita-cita untuk membangun rumah peristirahatan bergaya puri di situ. 

Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di Cisarua. Di tempat sejuk ini Dokter Jordens menyetujui rencana sang Gubernur Jenderal untuk mendirikan rumah sakit VOC. Dari sana rombongan terus mendaki ke arah Puncak. Pada sore hari mereka tiba di sebuah sumber air panas yang menyembur di bawah sebatang pohon karet munding. Cipanas yang berarti air panas dalam bahasa Sunda, dicatat Van Imhoff sebagai lokasi yang berjarak 24 paal dari Buitenzorg. Ia segera berhasrat membangun sebuah rumah tetirah di tempat itu. Bahkan ia langsung mengutus juru ukur untuk membuat peta dan mematok kapling untuk bangunan yang dicita-citakannya.
Dalam tahun itu juga, rumah tetirah di Cipanas itu mulai dibangun. Tukang-tukang kayu didatangkan khusus dari Tegal dan Banyumas, artisan yang dikenal rajin dan rapi garapannya. Sketsa dasar bangunannya dibuat sendiri oleh Van Imhoff. Vila itu selesai empat tahun kemudian. Selama masa pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok, sekaligus untuk berendam air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan untuk minum air dari sumber itu – yang diketahui mengandung belerang dan zat besi -dicampur dengan susu karena mempunyai khasiat penyembuhan. 
Di situ pula Van Imhoff mulai ketagihan pijat. Orang-orang Tegal yang membangun rumah tetirah itu ternyata membawa seorang juru pijat yang cantik. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera mempermandikannya menjadi Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters. Sekalipun tidak dinikahi, Helena melahirkan tiga anak Baron Van Imhoff.
Di vila Cipanas itu pulalah Van Imhoff meninggal pada tahun 1750, setelah sakit selama dua bulan. Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang, Jakarta, dengan upacara kebesaran militer. Selain dikenal sebagai pembangun Puri Buitenzorg, rumah sakit Cisarua, dan vila Cipanas, Van Imhoff juga dikenal jasanya karena mendirikan Academie de Marine di Kalibesar Barat, menempati sebuah bangunan yang kelak bernama Toko Merah.
Van Imhoff tampaknya cukup mempunyai selera arsitektur yang baik. Bangunan rumah tetirah di tempat yang tingginya 1100 meter dari muka laut itu hampir seluruh konstruksinya – dari lantai hingga atap – dibangun dari bahan kayu jati. Elemen besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias bangunan. Dalam perkembangannya kemudian, beberapa lantai dan dinding direnovasi dengan bahan batu dan batako. Renovasi itu menghilangkan desain asli bangunan yang berkonsep rumah panggung. 


Hingga sekarang pun pengunjung Istana Cipanas dapat segera merasakan keunikan arsitekturnya. Gaya dasarnya adalah rumah musim panas Eropa, tetapi dengan penguatan arsitektur tropis yang menyiratkan adanya keinginan untuk menampilkan nuansa Jawa Barat.
Ketika rumah tetirah itu dibangun, tentunya Van Imhoff tidak membayangkan bahwa dua setengah abad kemudian jalan di depan puri itu akan teramat ramai. Menurut catatan lama, bangunan ini bahkan tidak tampak dari jalan, terlindung di balik pepohonan tinggi ketika pertama kali dibangun dulu. Sumber air panasnya sendiri­ yang menjadi alasan utama pendirian rumah tetirah itu ­berada lebih dari seratus meter di belakang bangunan induk.
Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Inggris, ia menempatkan beberapa ratus orang di Cipanas untuk berkebun apel, bunga dan sayur, beternak sapi dan ayam, serta bekerja di penggilingan padi. Hasil produksi Cipanas ini – daging, susu, buah, sayur, padi, dan bunga – dikirim ke Buitenzorg dan Batavia untuk memenuhi kebutuhan para pejabat. Para pekerja itu ditempatkan di barak-barak yang dibangun tidak jauh dari rumah tetirah. Raffles sebenarnya mengikuti jejak Gubernur Jenderal Hindia – Belanda Daendels yang memulai sistem pengadaan pangan dari daerah penyangga.
Vila Cipanas ini tidak pernah dianggap sebagai puri resmi. Tidak semua Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan vila ini untuk tetirah – khususnya pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Perjalanan dari Batavia atau Buitenzorg dengan menunggang kuda mendaki ke Cipanas merupakan tan­tangan yang tidak terlalu menarik bagi para Gubernur Jenderal. Jaringan kereta api Batavia ­Buitenzorg baru mulai dioperasikan pada 1864. 

Pada pertiga awal abad ke- 20, vila Cipanas pernah berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga tiga Gubernur Jenderal: Andreas Cornelis De Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer. Hingga kini, bufet dan kandelabra peninggalan Starkenborgh­Stachouwer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terakhir, masih terdapat di sana.
Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan pembesar Jepang yang memang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas dalam perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Secara garis besar, bangunan induk yang dibangun Van Imhoff itu hingga kini masih kelihatan hampir seperti saat pertama selesai dibangun. Serambi depannya yang cukup luas itu ditutup dengan jendela-jendela kaca lebar pada kiri-kanannya untuk menahan tiupan angin dingin. Lantai serambi ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan tanah, membuatnya terkesan lebih anggun.
Bangunan induk ini mempunyai beberapa ruang tidur, ruang kerja, ruang rias, (sekarang menjadi ruang duduk), ruang makan, dan serambi belakang yang lebih luas daripada serambi depan. Dari serambi belakang ini tersaji pemandangan lereng gunung Gede dan Pangrango yang asri. Ruang makannya yang luas juga berfungsi sebagai ruang pertemuan.
Ketika vila Cipanas makin banyak dipakai, pada 1916 Pemerintah menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk. Paviliun-paviliun itu sekarang. bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima. Bagian belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan berbagai kesenian.


Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik Indonesia setelah penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana Presiden.
Presiden Sukarno cukup banyak memanfaatkan Istana Cipanas, terutama sebagai tempat mencari inspirasi bagi pidato-pidatonya, terutama untuk peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus. Suasana damai dan sejuk Cipanas bagaikan magnet yang mampu menarik semua gagasan yang tersimpan dalam benak Sukarno ke atas kertas. Di Istana Cipanas inilah Presiden pertama itu melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953.
Pada 1954, Bung Karno memerintahkan pembangunanan sebuah studio terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai tempat merenung. Puncak bukit itu dipilihnya karena merupakan sebuah titik tempat orang dapat memandang Gunung Gede pada pagi hari dengan jelas, sebelum kabut kemudian menutupi puncaknya.
Dua orang arsitek-R.M. Soedarsono dan F. Silaban – bersama-sama menggarap desain studio itu. Hasilnya adalah sebuah bangunan sederhana dari bahan dasar batu kali dan menonjolkannya sebagai ragam hias. Karenanya, gedung itu hingga sekarang disebut Gedung Bentol karena bentol-bentol batu kali yang diekspos, baik pada dinding maupun pada lantai luar bangunan.
Selain meja dan kursi kerja, hanya ada sebuah meja rendah, sebuah lemari, dan sebuah dipan kecil di dalam studio ini. Di lemari itu masih tersimpan salah satu mantel yang dulu sering digunakan Bung Karno.
Menurut cerita beberapa staf yang masih mengingat masa itu, Bung Karno biasanya datang pagi-pagi ke Gedung Bentol dengan membawa bahan-bahan untuk menulis. Pelayan menyediakan segelas kopi, segelas teh, segelas air, dan hidangan ringan ala kadarnya seperti pisang rebus, singkong rebus, kacang rebus. Sepanjang pagi, Presiden Sukarno bisa duduk diam menulis di dalam studionya tanpa merepotkan siapa-siapa. Bila sedang asyik menulis, ia bahkan sering minta santapan siangnya dibawakan ke Gedung Bentol.
Lahan Istana Cipanas yang naik-turun ini membuatnya menarik untuk melakukan jalan­- jalan santai, lari-lari, atau berkuda mengelilingi kompleks. Di kompleks Istana Cipanas kini tersedia lapangan tenis, lapangan bermain untuk kanak-kanak, kolam pemancingan ikan, kolam renang, dan tentu saja juga kolam untuk berendam di air panas. Di dekat sumbernya dibangun tempat berendam khusus untuk Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan di depannya dibangun sebuah bangunan panjang untuk para pejabat tinggi negara menikmati sumber air panas belerang itu. 


Bentangan seluruh lahan Istana terdiri dari taman istana dan hutan istana ibarat kebun raya yang memiliki ribuan pohon dan tumbuhan dari 170-an jenis.
Pada 1983, Pemerintah menambahkan dua bangunan baru, yakni paviliun kembar Nakula dan Sadewa yang berpendapa. Arsitek kedua bangunan itu adalah Siti Iswari, pegawai Rumah Tangga Kepresidenan. Selain gedung induk,saat ini terdapat 22 bangunan di kompleks Istana Cipanas. Bangunan-bangunan itu antara lain adalah perkantoran, mesjid, perumahan karyawan, dan poliklinik.
Pada masa Presiden Soeharto, kursi-kursi ukiran Jepara pun ditambahkan di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan dengan perabotan tinggalan lama. Namun demikian, lukisan­-lukisan dan patung-patung yang dikoleksi Bung Karno masih merupakan hiasan utama interior dan eksterior Istana Cipanas, misalnya saja karya-karya Lee Man Fong, Theo Meier, Batara Lubis, Basoeki Abdullah, Rustamadji, Russel Flynt, Rudolf Bonnet, Dullah, dan S. Sudjojono.
Tampaknya, Istana Cipanas justru populer bagi beberapa wakil presiden. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno adalah para Wakil Presiden yang sering berkunjung ke sini. Pak Umar sering menggunakan Istana Cipanas selama libur Idul Fitri. Pak Try hampir selalu menggunakannya setiap pergantian tahun. Acara-acara keluarga seperti itu selalu meriah dihadiri oleh keluarga-keluarga besar mereka. Presiden Soeharto dan Presiden Habibie hanya sesekali saja bermalam di Istana Cipanas. 


Tetapi, Presiden Megawati justru sering berkunjung ke sana, terutama untuk menanam berbagai pepohonan di kompleks Istana yang luas itu. Kegemaran Ibu Mega akan tanaman ­khususnya pohon buah-buahan – menemukan lahan yang cocok di Istana Cipanas.
Sebagai tempat tetirah, Istana Cipanas memang tidak banyak berperan sebagai tempat kejadian-kejadian bersejarah. Namun, di sinilah Presiden Sukarno pada 13 Desember 1965 mengadakan sidang kabinet untuk memutuskan perubahan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Kebijakan ini pada waktu itu populer dengan sebutan “sanering” (istilah ini tidak ditemukan dalam kamus bahasa Belanda maupun Inggris). Ini merupakan “sanering” yang kedua setelah sebelumnya pada 1950 Pemerintah – dalam program Kabinet Hatta untuk memperbaiki ekonomi rakyat – memangkas nilai Rupiah hingga setengahnya.
Meskipun Istana Cipanas tidak dirancang untuk menerima tamu negara, Ratu Juliana dari Belanda pernah singgah di sini pada 1971.
Pada tanggal 14-17 April 1993, Istana Cipanas juga menjadi tempat bagi pertemuan damai bagi faksi-faksi Filipina yang bertikai. Atas inisiatif Presiden Soeharto, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memimpin perundingan antara Pemerintah Filipina dan kelompok MNLF (Moro National Liberation Front) yang dipimpin oleh Nur Misuari. Semua delegasi menginap di kompleks istana Cipanas.
Istana Cipanas akan selalu berfungsi sebagaimana maksud pendirinya lebih dari dua setengah abad yang lalu, yakni sebagai tempat tetirah untuk menyegarkan raga dan pikiran bagi para penyelenggara tertinggi pemerintahan negara.
.

TAMAN BUNGA NUSANTARA

.
























Para Peserta mencoba berendam di kolam air panas Istana Cipanas


0 komentar:

Posting Komentar