Jelajah Istana Cipanas dan Taman Bunga Nusantara
Hari : bebas untuk grup/rombongan sendiri
Meeting Point : Jam 6.30 ditempat yg ditentukan
Berangkat pg menghindari Buka Tutup di Ciawi
Tata tertib : Busana semi formal, tidak boleh memakai sandal. jeans
celana pendek, kaos
Biaya : 300rb/ orang sudah termasuk :
- Bus AC,
- Snack
- air minum
- izin Istana, Tip Guide, Tol dan Parkir
- Tiket Taman Bunga Nusantara
DP : 50% transfer ke BCA 1281730369 a/n Drs. Muhammad Sartono
Kapasitas : 60 seat - minimal 25 seat Hubungi : 087889980922
Sejarah Istana Cipanas
Terletak di kaki Gunung Gede, bangunan yang kini menjadi Istana Cipanas
sejak awal benar-benar tempat tetirah bagi para Gubernur Jenderal,
bukan gedung pemerintahan atau rumah dinas seperti Istana Bogor atau
Istana Merdeka. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta udara
pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai tempat
persinggahan yang digemari para pejabat tinggi. Penciptanya adalah
Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron Van Imhoff, yang juga menggagas
Puri Buitenzorg.
Di benak Van Imhoff-Iah muncul gagasan kolonisasi Jawa di benak Van
Imhoff – dan ia segera melaksanakannya dengan kolonisasi kawasan sekitar
Batavia, dan kemudian meluas ke daerah Priangan. Pada 20 Agustus 1742,
ia memulai ekspedisinya yang diikuti oleh dua orang anggota Raad van
Indie (Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah, dan
seorang pendeta. Ekspedisi ini dikawal sepasukan grenadiers VOC yang dipimpin oleh seorang letnan kolonel.
Ekspedisi ini mencapai Kampung Baru pada 23 Agustus 1742. Van Imhoff
jatuh cinta Pada suasana asri alam pegunungan di kawasan itu, dan
menandai kawasan itu dengan nama Buitenzorg (pada saat itu masih dieja
sebagai Buyten Sorg, yang berarti: tanpa peduli, atau without worry dalam bahasa Inggris, sans sauci dalam bahasa Prancis). Bahkan pada saat itu ia sudah bercita-cita untuk membangun rumah peristirahatan bergaya puri di situ.
Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di Cisarua. Di tempat sejuk
ini Dokter Jordens menyetujui rencana sang Gubernur Jenderal untuk
mendirikan rumah sakit VOC. Dari sana rombongan terus mendaki ke arah
Puncak. Pada sore hari mereka tiba di sebuah sumber air panas yang
menyembur di bawah sebatang pohon karet munding. Cipanas yang berarti
air panas dalam bahasa Sunda, dicatat Van Imhoff sebagai lokasi yang
berjarak 24 paal dari Buitenzorg. Ia segera berhasrat membangun
sebuah rumah tetirah di tempat itu. Bahkan ia langsung mengutus juru
ukur untuk membuat peta dan mematok kapling untuk bangunan yang
dicita-citakannya.
Dalam tahun itu juga, rumah tetirah di Cipanas itu mulai dibangun.
Tukang-tukang kayu didatangkan khusus dari Tegal dan Banyumas, artisan
yang dikenal rajin dan rapi garapannya. Sketsa dasar bangunannya dibuat
sendiri oleh Van Imhoff. Vila itu selesai empat tahun kemudian. Selama
masa pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok, sekaligus untuk
berendam air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan untuk minum
air dari sumber itu – yang diketahui mengandung belerang dan zat besi
-dicampur dengan susu karena mempunyai khasiat penyembuhan.
Di situ pula Van Imhoff mulai ketagihan pijat. Orang-orang Tegal yang
membangun rumah tetirah itu ternyata membawa seorang juru pijat yang
cantik. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera mempermandikannya
menjadi Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters. Sekalipun tidak
dinikahi, Helena melahirkan tiga anak Baron Van Imhoff.
Di vila Cipanas itu pulalah Van Imhoff meninggal pada tahun 1750,
setelah sakit selama dua bulan. Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang,
Jakarta, dengan upacara kebesaran militer. Selain dikenal sebagai
pembangun Puri Buitenzorg, rumah sakit Cisarua, dan vila Cipanas, Van
Imhoff juga dikenal jasanya karena mendirikan Academie de Marine di
Kalibesar Barat, menempati sebuah bangunan yang kelak bernama Toko
Merah.
Van Imhoff tampaknya cukup mempunyai selera arsitektur yang baik.
Bangunan rumah tetirah di tempat yang tingginya 1100 meter dari muka
laut itu hampir seluruh konstruksinya – dari lantai hingga atap –
dibangun dari bahan kayu jati. Elemen besi cor juga dipakai sebagai
penguat dan ragam hias bangunan. Dalam perkembangannya kemudian,
beberapa lantai dan dinding direnovasi dengan bahan batu dan batako.
Renovasi itu menghilangkan desain asli bangunan yang berkonsep rumah
panggung.
Hingga sekarang pun pengunjung Istana Cipanas dapat segera merasakan
keunikan arsitekturnya. Gaya dasarnya adalah rumah musim panas Eropa,
tetapi dengan penguatan arsitektur tropis yang menyiratkan adanya
keinginan untuk menampilkan nuansa Jawa Barat.
Ketika rumah tetirah itu dibangun, tentunya Van Imhoff tidak
membayangkan bahwa dua setengah abad kemudian jalan di depan puri itu
akan teramat ramai. Menurut catatan lama, bangunan ini bahkan tidak
tampak dari jalan, terlindung di balik pepohonan tinggi ketika pertama
kali dibangun dulu. Sumber air panasnya sendiri yang menjadi alasan
utama pendirian rumah tetirah itu berada lebih dari seratus meter di
belakang bangunan induk.
Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Inggris, ia
menempatkan beberapa ratus orang di Cipanas untuk berkebun apel, bunga
dan sayur, beternak sapi dan ayam, serta bekerja di penggilingan padi.
Hasil produksi Cipanas ini – daging, susu, buah, sayur, padi, dan bunga –
dikirim ke Buitenzorg dan Batavia untuk memenuhi kebutuhan para
pejabat. Para pekerja itu ditempatkan di barak-barak yang dibangun tidak
jauh dari rumah tetirah. Raffles sebenarnya mengikuti jejak Gubernur
Jenderal Hindia – Belanda Daendels yang memulai sistem pengadaan pangan
dari daerah penyangga.
Vila Cipanas ini tidak pernah dianggap sebagai puri resmi. Tidak semua
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan vila ini untuk
tetirah – khususnya pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19.
Perjalanan dari Batavia atau Buitenzorg dengan menunggang kuda mendaki
ke Cipanas merupakan tantangan yang tidak terlalu menarik bagi para
Gubernur Jenderal. Jaringan kereta api Batavia Buitenzorg baru mulai
dioperasikan pada 1864.
Pada pertiga awal abad ke- 20, vila Cipanas pernah berfungsi sebagai
tempat tinggal keluarga tiga Gubernur Jenderal: Andreas Cornelis De
Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van
Starkenborgh-Stachouwer. Hingga kini, bufet dan kandelabra peninggalan
StarkenborghStachouwer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terakhir,
masih terdapat di sana.
Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan pembesar Jepang
yang memang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas dalam
perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Secara garis besar, bangunan induk yang dibangun Van Imhoff itu hingga
kini masih kelihatan hampir seperti saat pertama selesai dibangun.
Serambi depannya yang cukup luas itu ditutup dengan jendela-jendela kaca
lebar pada kiri-kanannya untuk menahan tiupan angin dingin. Lantai
serambi ditinggikan sekitar dua meter dari permukaan tanah, membuatnya
terkesan lebih anggun.
Bangunan induk ini mempunyai beberapa ruang tidur, ruang kerja, ruang
rias, (sekarang menjadi ruang duduk), ruang makan, dan serambi belakang
yang lebih luas daripada serambi depan. Dari serambi belakang ini
tersaji pemandangan lereng gunung Gede dan Pangrango yang asri. Ruang
makannya yang luas juga berfungsi sebagai ruang pertemuan.
Ketika vila Cipanas makin banyak dipakai, pada 1916 Pemerintah
menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk.
Paviliun-paviliun itu sekarang. bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima.
Bagian belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan
berbagai kesenian.
Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik Indonesia setelah
penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana Presiden.
Presiden Sukarno cukup banyak memanfaatkan Istana Cipanas, terutama
sebagai tempat mencari inspirasi bagi pidato-pidatonya, terutama untuk
peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus. Suasana damai dan sejuk Cipanas
bagaikan magnet yang mampu menarik semua gagasan yang tersimpan dalam
benak Sukarno ke atas kertas. Di Istana Cipanas inilah Presiden pertama
itu melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953.
Pada 1954, Bung Karno memerintahkan pembangunanan sebuah studio
terpencil di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas
sebagai tempat merenung. Puncak bukit itu dipilihnya karena merupakan
sebuah titik tempat orang dapat memandang Gunung Gede pada pagi hari
dengan jelas, sebelum kabut kemudian menutupi puncaknya.
Dua orang arsitek-R.M. Soedarsono dan F. Silaban – bersama-sama
menggarap desain studio itu. Hasilnya adalah sebuah bangunan sederhana
dari bahan dasar batu kali dan menonjolkannya sebagai ragam hias.
Karenanya, gedung itu hingga sekarang disebut Gedung Bentol karena
bentol-bentol batu kali yang diekspos, baik pada dinding maupun pada
lantai luar bangunan.
Selain meja dan kursi kerja, hanya ada sebuah meja rendah, sebuah
lemari, dan sebuah dipan kecil di dalam studio ini. Di lemari itu masih
tersimpan salah satu mantel yang dulu sering digunakan Bung Karno.
Menurut cerita beberapa staf yang masih mengingat masa itu, Bung Karno
biasanya datang pagi-pagi ke Gedung Bentol dengan membawa bahan-bahan
untuk menulis. Pelayan menyediakan segelas kopi, segelas teh, segelas
air, dan hidangan ringan ala kadarnya seperti pisang rebus, singkong
rebus, kacang rebus. Sepanjang pagi, Presiden Sukarno bisa duduk diam
menulis di dalam studionya tanpa merepotkan siapa-siapa. Bila sedang
asyik menulis, ia bahkan sering minta santapan siangnya dibawakan ke
Gedung Bentol.
Lahan Istana Cipanas yang naik-turun ini membuatnya menarik untuk
melakukan jalan- jalan santai, lari-lari, atau berkuda mengelilingi
kompleks. Di kompleks Istana Cipanas kini tersedia lapangan tenis,
lapangan bermain untuk kanak-kanak, kolam pemancingan ikan, kolam
renang, dan tentu saja juga kolam untuk berendam di air panas. Di dekat
sumbernya dibangun tempat berendam khusus untuk Presiden dan Wakil
Presiden, sedangkan di depannya dibangun sebuah bangunan panjang untuk
para pejabat tinggi negara menikmati sumber air panas belerang itu.
Bentangan seluruh lahan Istana terdiri dari taman istana dan hutan
istana ibarat kebun raya yang memiliki ribuan pohon dan tumbuhan dari
170-an jenis.
Pada 1983, Pemerintah menambahkan dua bangunan baru, yakni paviliun
kembar Nakula dan Sadewa yang berpendapa. Arsitek kedua bangunan itu
adalah Siti Iswari, pegawai Rumah Tangga Kepresidenan. Selain gedung
induk,saat ini terdapat 22 bangunan di kompleks Istana Cipanas.
Bangunan-bangunan itu antara lain adalah perkantoran, mesjid, perumahan
karyawan, dan poliklinik.
Pada masa Presiden Soeharto, kursi-kursi ukiran Jepara pun ditambahkan
di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan dengan perabotan tinggalan
lama. Namun demikian, lukisan-lukisan dan patung-patung yang dikoleksi
Bung Karno masih merupakan hiasan utama interior dan eksterior Istana
Cipanas, misalnya saja karya-karya Lee Man Fong, Theo Meier, Batara
Lubis, Basoeki Abdullah, Rustamadji, Russel Flynt, Rudolf Bonnet,
Dullah, dan S. Sudjojono.
Tampaknya, Istana Cipanas justru populer bagi beberapa wakil presiden.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah,
Sudharmono, dan Try Soetrisno adalah para Wakil Presiden yang sering
berkunjung ke sini. Pak Umar sering menggunakan Istana Cipanas selama
libur Idul Fitri. Pak Try hampir selalu menggunakannya setiap pergantian
tahun. Acara-acara keluarga seperti itu selalu meriah dihadiri oleh
keluarga-keluarga besar mereka. Presiden Soeharto dan Presiden Habibie
hanya sesekali saja bermalam di Istana Cipanas.
Para Peserta mencoba berendam di kolam air panas Istana Cipanas |
0 komentar:
Posting Komentar